Sunday, December 15, 2013

Mengingat Kembali: “Bisa Dèwèk” We Can Do It Ourselves (2007)

Sebuah Film Dokumenter Etnografi hasil kerjasama antara IPPHTI (Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia) Indramayu bersama Program Sarjana Jurusan Antropologi FISIP-UI.

“Kini kami mau menjadi pemulia tanaman, memproduksi benih idaman.”
Kalimat di atas menjadi kalimat pembuka yang mewakili kisah perjuangan petani pemulia tanaman di Indramayu dalam film ini.

Visualisasi wayang kulit yang dimainkan dengan sederhana oleh Pak Karsinah, menampilkan sosok Semar yang merepresentasikan sosok petani dan Samiaji sebagai pihak pemerintah. Dalam kepustakaan antropologi, keberadaan petani dipercaya sudah muncul 6000 tahun yang lalu di Mesopotamia. Keadaan petani yang kita kenal sebagian besar kini, berbeda dengan masyarakat primitif yang lebih lanjut. Dalam masyarakat primitif ketika pengolahan lahan sudah dilakukan, produsen benar-benar menguasai sarana produksi, termasuk tenaga kerjanya sendiri dan menukarkan tenaga kerjanya sendiri dengan barang atau jasa lain sebagai padanan yang ditentukan menurut kebudayaannya. Sedangkan, petani selalu menjadi bagian dari sitem ekonomi, politik, dan budaya yang lebih luas dalam kedudukan yang lebih rendah (Mulyanto, 2011: 208). Layaknya Semar sebagai abdi kerajaan yang mengabdi untuk memuliakan anak cucu pandawa, membahagiakan bangsa. Dalam kedudukan yang rendah, petani mengambil peran penting kehidupan, makanan.


Dibagi menjadi 6 potongan film pendek dengan durasi sekitar 9 menit, film ini dimulai dengan menampilkan era penting dalam kehidupan petani yang dikenal dengan Revolusi Hijau yang bertujuan untuk menghasilkan padi yang baik dan melimpah, perlu digaris bawahi: dengan bergantung pada industri bibit, peralatan tani, dan pupuk kimia.
Tarling Cirebonan berjudul “Panca Usaha Tani” oleh Tarling Putra Sangkala pun dilantunkan. Semar kembali didalangkan: “Ditung itung itung, untunge petani sedikit. Dadi kula ki duwe tujuan, Pak, yu kita perbaiki pertanian kita karena bumi k iwis rada rusak. Kula ndeleng dewek akehe obat-obatan, akehe penyakit.”
Revolusi industri mulai mengalami gangguan, dengan ditemukannya banyak hama yang merusak tanaman tani, wereng coklat, yang dulunya merupakan hama yang tidak penting. Menyikapi hal tersebut muncul PHT (Pengendalian Hama Terpadu) dengan penerapan Sekolah Tani. Indonesia bekerja sama dengan FAO, diperdalam dengan Riset Aksi Fasilitas Indramayu (Action Research Facility/ARF). Petani belajar untuk menstrukturkan pengalaman mereka dengan lahan mereka, bagaimana menjelaskan permasalahan dan menyelesaikan permasalahannya. Petani melakukan penelitiannya sendiri.

Nampaknya, pengalaman ini menjadi bekal yang dimanfaatkan petani Indramayu, untuk memulai kemuliaannya, setelah runtuhnya Orde Baru. Melepaskan diri dari mahalnya biaya yang dibutuhkan untuk kebutuhan benih dan tani,demi hasil tani yang tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan. Belum lagi varietas modern yang menghabiskan varietas lokal Indramayu. Lahan sawah yang begitu luasnya, 118.000 hektar, seakan mencekik petani Indramayu. Bahkan, mungkin petani-petani lain di Indonesia.
Semar: “Hey gusti, arane kok sampean ora kesian ke wong tani ku. Pemerentah ki jare kula mah kuwalik, modali BALITPA para peneliti sing gaji ku kula, sing gaji ku pemerentah, kenangapa wah ya wis dadi bibite dinak na ning PT?” 
Samiaji: “Apakah bisa wong tani gawe bibit? Terlalu rumit.”
Melalui penelitian ini, Yunita Winarto, dan rekan rekan lintas disiplin baik petani, ilmuwan, dan penguasa, mampu memberikan gambaran inspiratif dengan pendekatan inovatif. Membuat penonton dapat memahami kompleksitas petani dan perjuangannya dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya dengan pengetahuan lokal petani Indramayu. Tanpa mengesampingkan aspek historis pengalaman para petani penonton akan memasuki masa-masa sulit petani, sampai tahap mampu memuliakan taninya.
 “Padi ini, kami menyilangkan padi lokal dengan padi local. Nah, jadi Jadi kalo padi local ama padi local, nanti kalo disilangkan mendapat hak paten tuh dadi nggak punya ini orang BALITPA, karena padi local itu padinya petani bu, bukan BALITPA.”
Dan dengan bangganya pak Darmin mampu mengangkat kepala dan berkata,
Ini bibit hasil-hasil penemuan dari pak Darmin. Kelompok tani Sri Asih Blok Kebun Randu desa Sekarmulya, kecamatan gabus wetan, Indramayu. Thank you.”
Indramayu, menjadi cahaya di ujung jalan petani lain yang juga mengalami masa-masa sulit pertanian negeri ini. Batasan penelitian dalam film etnografi ini menunjukan, masih banyak petani-petani yang tidak merasakan kemuliaan dalam cahayanya sendiri, didasar perut-perut masyarakat Indonesia. Untuk kemandirian, petani butuh ilmu pengetahuan. Tapi waktu sudah terampas kebutuhan. Keuntungan tani, tak cukup untuk membeli keduanya, waktu dan kebutuhan.

Samar-samar kembali teringat paragraf terakhir dari Bapak Dede Mulyanto dalam bukunya, Antropologi Marx: “Dimanakah kedudukan antropologi? Apakah antropologi akan kembali menjadi bagian darinya seperti yang dilakukannya kala kapitalis-kapitalis Eropa menghisapi negeri-negeri jajahan sekering-keringnya? Atau menebus dosa masa lalu dengan berpihak pada golongan tertindas?” (Mulyanto, 2011: 234)

12 Des '13
Tiaradewi :)

Tonton Filmnya di sini:

Beberapa penulisan bahasa Indramayu di tulisan ini mungkin tidak tepat, saya akan sangat berterimakasih jika pembaca mau membantu mengoreksi. CMIIW.

Literatur pendukung:
Mulyanto, Dede. 2011. Antropologi Marx: Karl Marx Tentang Masyarakat dan Kebudayaan. Bandung: Ultimus.
tokohwayang.wordpress.com

Ulasan ini juga dimuat di situs Anthrostudy
Buat Galih, tetap senandungkan lagu mulia untuk tani ya, aku nggak bisa kenyang kalo nggak makan nasi :p

No comments: