Sunday, December 17, 2017

(Bukan Ulasan) Free to Laugh


Menjelang akhir tahun, Agustus, 2011. Hampir tiap Jumat yang hujan, naik motor pinjaman, saya bersama Bacil melaju lintas kecamatan: Jatinangor-Gegerkalong. Beruntung, tempat tujuan kami menyediakan layanan cuci helm. Sepatu, kaos kaki, dan tidak lupa, helm motor bisa wangi bebas lembab. Atau, kalau segan, kami senderkan saja benda-benda itu di blower ac yang bunyinya agak kuno, terus duduk nyeker di sofa kulit hitam garasi yang jadi ruang tengah. Sambil menunggu, entah menunggu apa.

Should I give up? Or should I just keep chasin’ pavements. Even if it leads nowhere?

Lagu itu rutin di-stel keras-keras lewat komputer yang ada di ruang tengah. Kadang nada-nada Caspian juga berebut untuk dapat giliran memenuhi ruangan, ditambah wangi nasi padang bungkusan jam makan siang. Kadang ada juga tamu atau teman lama, atau siapa saja datang menyapa, benar-benar siapa saja. Tapi, yang tidak pernah tidak hadir di sana: tawa. Bahkan, kalau ada emosi yang sedang keras dan nyaring, selalu ada yang tertawa di celah-celah giginya.

Kurang lebih tiga bulan, rutinitas akhir pekan itu tumbuh subur di memori saya, membawa saya kembali dua tahun setelahnya untuk merekam setiap hari, semua tawa yang membuncah ketika saya di sana. Sayangnya saya tidak ahli bikin cerita fiksi. Alih-alih masuk Gramedia, rekaman itu dibungkus sampul kuning dengan simbol Padjadjaran dengan jumawa.

Sekarang, 2017, sudah lebih dari lima tahun. Kalau dibuka lagi mungkin rekaman itu bikin sakit mata, tulisan kocar-kacir, namun, prosesnya melekat. Dan, saya bisa tertawa kalau ingat-ingat. Tahun di mana saya mulai tidak lagi banyak menangis, tidak lagi membayangkan alam baka dengan mata terbuka, tidak lagi terpenjara dalam diri sendiri, kalaupun iya itu masih terjadi, setidaknya saya punya berbagai cara mengatasinya.

Bukan karena masalah-masalah kehidupan sirna, nona.

Something about laugh is that, it is very healing.”

Free to Laugh sebuah film dokumeter yang bikin saya berlinang-linang, mengingatkan saya tentang apa yang pernah saya rekam tentang Rumah Cemara dan kepercayaan saya soal tertawa. Definisi-definisi dalam syarat akademik itu sudah runtuh dalam benak saya. Kita semua hanya rangkaian cerita-cerita yang rentan, mudah basah, mudah putus, mudah berjamur, mudah sakit, sama saja: pecandu, narapidana, odha, disabilitas, mentally disorder, dan lain-lain. Bagi saya, tertawa tidak harus ada pada oposisi biner dengan kesialan, kesedihan atau kemarahan. Bahkan di titik terendah manusia, tertawa harus ada di sana.

Your story is not define you, it is just part of your story ... there are so many chapters left to be written.

Tiaradewi :)
Freiburg, 17 Desember 2017

*terimakasih Rumah Cemara dan siapapun di dalamnya.