Thursday, August 15, 2013

Perihal Slapstick: Menertawakan Ketertindasan

Tulisan ini bermaksud agak melihat kaidah yang lebih kontekstual dari tertawa, karena selera humor manusia itu berbeda-beda. Humor bangkit dari budaya dan psikologis manusia. Anggaplah, batasan humoris di sini adalah seberapa banyak seseorang mampu membuat lucu hal-hal di sekitar dan tertawa karenanya. Kalau begitu, orang kita ini, nampaknya sangat humoris. Kita senang tertawa - menertawai sesuatu, menertawai diri sendiri, menertawai kesalahan, dan menertawai yang tidak bersalah - hampir disetiap sisi kehidupan kita. (Yang kurang setuju, mungkin konsep humorisnya berbeda dan itu bukan masalah. Lain kesempatan kita bahas batasan humoris yang lain.)

Televisi, media yang masih setia menemani sebagian besar masyarakat Indonesia tertawa bersama acara-acaranya. Siaran televisi mentransformasikan aneka jenis tawa di kehidupan sehari-hari ke dalam interaksi drama komedi yang belakangan ini dinilai cukup slapstick. Mungkin, sudah banyak komentar miring tentang komedi macam ini di televisi (menyiram orang dengan bedak/tepung, memukul dengan streofoam, saling menghina fisik, dll). Adanya trend komedi slapstick di televisi tidak sekonyong-konyong membuat pemirsa di rumah dan studio tertawa tanpa alasan.


Sebab, lucu tidaknya, humor membutuhkan pemahaman budaya yang sesuai dengan sasarannya, yaitu pemirsa yang setia tertawa di rumah. Dengan kata lain, jika komedi slapstick itu laku ditonton dan berhasil membuat penontonnya tertawa, itu karena penonton memiliki kesesuaian pengalaman di dalam kepalanya, bahwa memang dalam kehidupan sehari-hari: "ketertindasan patut ditertawakan". Bukan karena orang Indonesia kejam, tapi silahkan sejenak meletakkan asumsi itu pada kenyataan sekitar, banyak ketertindasan yang "diam", dan tawa mungkin, jadi satu-satunya bentuk mekanisme defensif untuk bertahan dalam ketertindasan bagi mereka atas kekuasaan yang tidak mampu dijangkau (Lihat: Martin dalam Ajidarma 2012). Kekuasaan itu bisa berupa kekuasaan pemerintah, kekuasaan secara fisik dan materi, secara pola pikir (stigma), dan macam-macam bentuk lain. 

Lantas, apakah slapstick dalam tayangan komedi akan terus demikian mantap? Tidak demikian halnya, ketika humor mulai menimbulkan keresahan, masyarakat akan melahirkan kontrol. Masih ingat ketika salah satu Ketua Pengadilan Tinggi melakukan candaan terhadap kasus pemerkosaan di pengadilan? Ketertindasan terhadap pemerkosaan tidak tinggal diam, berbagai kalangan melakukan aksi protes terhadap kejadian tersebut. Itu hanya salah satu contoh. Kembali ke komedi slapstick, siapa yang diresahkan? Munculnya blog, twit, dan artikel-artikel yang mengkritik tayangan komedi semacam itu menjadi manifestasi keresahan masyarakat. Siapa lagi kalau bukan anak-anak yang akan menjadi korban utamanya. Karena, selain merepresentasikan budaya, komedi slapstick di televisi juga mengkonstruksi budaya. Penonton akan kembali membentuk dirinya menjadi apa yang sehari-hari mereka saksikan. Sekarang, humor-humor yang lebih "kompleks dan konseptual" menjadi pilihan lain, meskipun tidak semua kalangan dapat memahaminya untuk bisa tertawa. 

Ini bukan masalah boleh atau tidak boleh tertawa atas ketertindasan. Humor menyelesaikan masalah ketertindasan dengan tertawa (setidaknya sebagian besar orang di dunia ini setuju bahwa tertawa itu sehat), tapi tidak dengan sendirinya mencari jalan keluar atas ketertindasan. Yah, kayak tulisan ini, mhihihi :p

Tiaradewi :)
15 Agustus 2013

No comments: