Jum’at petang, ketika
Jakarta baru saja diguyur hujan dan menyisakan anak-anak gerimis yang merintik
di genangan-genangan terminal Blok M. Langit senja mulai menua dan gelap. Aku
sudah di atas bis kota yang sebentar lagi sesak. Kupilih duduk dekat jendela,
bangku paling depan. Bis berjalan lamban keluar dari terminal, satu per satu
kaki-kaki becek memenuhi bis. Jejak gerimis dibawa oleh blus blus berkerah
penumpang bis. Deretan bis kota mengantri keluar dari terminal, berwarna-warni,
berbasah-basahan.
Jauh di belakang bis yang
kutumpangi, dialah pak Abot. Pria usia limapuluhan, berbadan gemuk, sampai
perutnya membuncit, badannya tidak bisa dibilang tinggi. Mungkin terlihat lebih
pendek karena badannya yang gempal. Dari belakang, dia mencoba berlari kearah bis yang aku
tumpangi. Aku pikir dia berlari, dia sedang berlari, dengan satu
kakinya yang pincang. Wajahnya meringis menahan sakit di kakinya. Membawa kresek
hitam, cukup besar, yang dipegangnya erat, erat sekali. Ujung celananya basah karena jalan
becek.