Jum’at petang, ketika
Jakarta baru saja diguyur hujan dan menyisakan anak-anak gerimis yang merintik
di genangan-genangan terminal Blok M. Langit senja mulai menua dan gelap. Aku
sudah di atas bis kota yang sebentar lagi sesak. Kupilih duduk dekat jendela,
bangku paling depan. Bis berjalan lamban keluar dari terminal, satu per satu
kaki-kaki becek memenuhi bis. Jejak gerimis dibawa oleh blus blus berkerah
penumpang bis. Deretan bis kota mengantri keluar dari terminal, berwarna-warni,
berbasah-basahan.
Jauh di belakang bis yang
kutumpangi, dialah pak Abot. Pria usia limapuluhan, berbadan gemuk, sampai
perutnya membuncit, badannya tidak bisa dibilang tinggi. Mungkin terlihat lebih
pendek karena badannya yang gempal. Dari belakang, dia mencoba berlari kearah bis yang aku
tumpangi. Aku pikir dia berlari, dia sedang berlari, dengan satu
kakinya yang pincang. Wajahnya meringis menahan sakit di kakinya. Membawa kresek
hitam, cukup besar, yang dipegangnya erat, erat sekali. Ujung celananya basah karena jalan
becek.
Dia terus mengejar kearah bisku. Menerobos kerumunan-kerumunan kecil
manusia yang menunggu kendaraannya lewat. Mata-mata curiga menatapnya sepanjang
jalur. Tangan-tangan curiga yang seketika memegang erat tas-tas yang
menggantung di pundaknya, memastikan tidak disentuh oleh Pak Abot. Pak Abot
tidak peduli betapa mereka curiga, ia terus berjalan, mencoba berlari,
tertatih-tatih dengan ukuran badannya yang gempal dan sebelah kaki yang terasa
lebih berat dari satunya.
Macetnya terminal memberhentikan
bis bis yang mengantri keluar. Pak Abot akhirnya berada persis di depan bis yang
aku tumpangi, tapi kemacetan nampaknya bertindak sembarang, bis bis itu mulai
menekan gas dan berjalan lagi. Aku masih di pojok bangku depan bisku. Dengan berlatar depan jendela yang dipenuhi rintik hujan, aku
menyaksikan Pak Abot mengejar bis di depanku.
Tangannya menyentuh bagian
belakang bis itu, mencoba berjalan lebih cepat, dengan sebelah kakinya yang
semakin berat. Pak Abot mengetuk-ngetuknya bagian belakang bis supaya pak Supir
menyadari kehadiran calon penumpangnya. Dan benar saja, setelah berulang kali mengetuk badan bis dengan keras, bis itu akhirnya berhenti. Pak Abot tersenyum, seolah nyeri di
sebelah kakinya hilang, tinggal lelah dan lekas masuk ke dalam melalui pintu
belakangnya.
Di dalam sesaknya bis kota,
kresek hitamnya yang basah bersentuhan dengan kemeja-kemeja dalam bis,
membuatnya risih karena air-air hujan akan menempel. Pak Abot meminta maaf dan
memegang bungkusan kresek hitamnya lebih erat. Kemudian bis kota yang
ditumpanginya melaju dalam kerumunan cahaya kota, hujan kembali deras mengguyur
Jakarta.
Di kota yang jaraknya dua jam
dari terminal itu, dua anak perempuan berwajah kembar, di dalam rumah yang sederhana
sedang ribut saja. Yang berambut pendek bernama Pelangi, ia sedang membaca keras-keras
buku tulisnya. Rupanya besok pada pelajaran bahasa Indonesia, setiap murid
harus membacakan sebuah puisi kesukaan atau puisi buatan sendiri. Pelangi pun
berlatih membaca puisi malam itu. Sementara, bocah satu lagi yang berambut
panjang, Sungai namanya, menonton acara lawak di TV dengan suara yang keras.
Keduanya saling mengeraskan suara agar lebih terdengar. Sementara, di luar hujan
yang jatuh sedang ribut di atas atap, di tong sampah besi pinggiran jalan,
dan ember di dalam rumah yang bocor.
Dua jam kemudian, suara keributan
dari kedua bocah itu mulai surut, hanya hujan yang tetap ribut. Ribut dengan
teratur, bunyi gemericik air seperti dipandu metronome, teratur, sampai-sampai kedua bocah
tadi bosan. Keduanya hampir tertidur di kasur lipat depan TV, Ibunya, yang dari tadi tidak
banyak bicara, mengambil dua buah sarung lalu menyelimuti anaknya satu per satu. Tidak lama, pintu rumah mereka dibuka dari luar
“asalamuallaikum”. Pak Abot muncul dari balik pintu. Kedua bocah tadi yang
hampir saya lelap, bangkit kemudian bergantian mencium tangan Pak Abot.
“Lho,
tas bapak mana, pak?” Tanya sang Ibu. Pak Abot membuka kresek hitamnya yang
basah, di dalamnya ada tas miliknya, “Ini bu, aku masukin kresek. Habisnya
hujan.”
Pak Abot mengeluarkan tas
kerjanya yang tak luput dari air hujan dari dalam kresek hitam. Gelagatnya agak
panik, dengan buru-buru membuka tasnya kemudian mengeluarkan sebuah beda. Agaknya ia
khawatir benda tersebut ikut terkena basah. Ia menunjukkan dua buah boneka untuk
dua bocahnya. Boneka mirip kurcaci kecil berwarna biru. Masih wangi baru.
“Ini buat kalian, selamat ulang
tahun ya, Pelangi. Selamat ulang tahun, Sungai. Yang pinter ya sekolahnya, jangan
nakal..”
Kegirangan, mereka peluk boneka
itu erat-erat, sampai tidur dan terasa hangat.
Tiaradewi :)
Jakarta, 28 April 2014. Hujan deras di sore Jakarta.
Tiaradewi :)
Jakarta, 28 April 2014. Hujan deras di sore Jakarta.
No comments:
Post a Comment