Monday, April 28, 2014

Pak Abot

Jum’at petang, ketika Jakarta baru saja diguyur hujan dan menyisakan anak-anak gerimis yang merintik di genangan-genangan terminal Blok M. Langit senja mulai menua dan gelap. Aku sudah di atas bis kota yang sebentar lagi sesak. Kupilih duduk dekat jendela, bangku paling depan. Bis berjalan lamban keluar dari terminal, satu per satu kaki-kaki becek memenuhi bis. Jejak gerimis dibawa oleh blus blus berkerah penumpang bis. Deretan bis kota mengantri keluar dari terminal, berwarna-warni, berbasah-basahan.

Jauh di belakang bis yang kutumpangi, dialah pak Abot. Pria usia limapuluhan, berbadan gemuk, sampai perutnya membuncit, badannya tidak bisa dibilang tinggi. Mungkin terlihat lebih pendek karena badannya yang gempal. Dari belakang, dia mencoba berlari kearah bis yang aku tumpangi. Aku pikir dia berlari, dia sedang berlari, dengan satu kakinya yang pincang. Wajahnya meringis menahan sakit di kakinya. Membawa kresek hitam, cukup besar, yang dipegangnya erat, erat sekali. Ujung celananya basah karena jalan becek. 


Dia terus mengejar kearah bisku. Menerobos kerumunan-kerumunan kecil manusia yang menunggu kendaraannya lewat. Mata-mata curiga menatapnya sepanjang jalur. Tangan-tangan curiga yang seketika memegang erat tas-tas yang menggantung di pundaknya, memastikan tidak disentuh oleh Pak Abot. Pak Abot tidak peduli betapa mereka curiga, ia terus berjalan, mencoba berlari, tertatih-tatih dengan ukuran badannya yang gempal dan sebelah kaki yang terasa lebih berat dari satunya.

Macetnya terminal memberhentikan bis bis yang mengantri keluar. Pak Abot akhirnya berada persis di depan bis yang aku tumpangi, tapi kemacetan nampaknya bertindak sembarang, bis bis itu mulai menekan gas dan berjalan lagi. Aku masih di pojok bangku depan bisku. Dengan berlatar depan jendela yang dipenuhi rintik hujan, aku menyaksikan Pak Abot mengejar bis di depanku. 

Tangannya menyentuh bagian belakang bis itu, mencoba berjalan lebih cepat, dengan sebelah kakinya yang semakin berat. Pak Abot mengetuk-ngetuknya bagian belakang bis supaya pak Supir menyadari kehadiran calon penumpangnya. Dan benar saja, setelah berulang kali mengetuk badan bis dengan keras, bis itu akhirnya berhenti. Pak Abot tersenyum, seolah nyeri di sebelah kakinya hilang, tinggal lelah dan lekas masuk ke dalam melalui pintu belakangnya.

Di dalam sesaknya bis kota, kresek hitamnya yang basah bersentuhan dengan kemeja-kemeja dalam bis, membuatnya risih karena air-air hujan akan menempel. Pak Abot meminta maaf dan memegang bungkusan kresek hitamnya lebih erat. Kemudian bis kota yang ditumpanginya melaju dalam kerumunan cahaya kota, hujan kembali deras mengguyur Jakarta.

Di kota yang jaraknya dua jam dari terminal itu, dua anak perempuan berwajah kembar, di dalam rumah yang sederhana sedang ribut saja. Yang berambut pendek bernama Pelangi, ia sedang membaca keras-keras buku tulisnya. Rupanya besok pada pelajaran bahasa Indonesia, setiap murid harus membacakan sebuah puisi kesukaan atau puisi buatan sendiri. Pelangi pun berlatih membaca puisi malam itu. Sementara, bocah satu lagi yang berambut panjang, Sungai namanya, menonton acara lawak di TV dengan suara yang keras. Keduanya saling mengeraskan suara agar lebih terdengar. Sementara, di luar hujan yang jatuh sedang ribut di atas atap, di tong sampah besi pinggiran jalan, dan ember di dalam rumah yang bocor.

Dua jam kemudian, suara keributan dari kedua bocah itu mulai surut, hanya hujan yang tetap ribut. Ribut dengan teratur, bunyi gemericik air seperti dipandu metronome, teratur, sampai-sampai kedua bocah tadi bosan. Keduanya hampir tertidur di kasur lipat depan TV, Ibunya, yang dari tadi tidak banyak bicara, mengambil dua buah sarung lalu menyelimuti anaknya satu per satu. Tidak lama, pintu rumah mereka dibuka dari luar “asalamuallaikum”. Pak Abot muncul dari balik pintu. Kedua bocah tadi yang hampir saya lelap, bangkit kemudian bergantian mencium tangan Pak Abot. 

“Lho, tas bapak mana, pak?” Tanya sang Ibu. Pak Abot membuka kresek hitamnya yang basah, di dalamnya ada tas miliknya, “Ini bu, aku masukin kresek. Habisnya hujan.”

Pak Abot mengeluarkan tas kerjanya yang tak luput dari air hujan dari dalam kresek hitam. Gelagatnya agak panik, dengan buru-buru membuka tasnya kemudian mengeluarkan sebuah beda. Agaknya ia khawatir benda tersebut ikut terkena basah. Ia menunjukkan dua buah boneka untuk dua bocahnya. Boneka mirip kurcaci kecil berwarna biru. Masih wangi baru.

“Ini buat kalian, selamat ulang tahun ya, Pelangi. Selamat ulang tahun, Sungai. Yang pinter ya sekolahnya, jangan nakal..”

Kegirangan, mereka peluk boneka itu erat-erat, sampai tidur dan terasa hangat.

Tiaradewi :)
Jakarta, 28 April 2014. Hujan deras di sore Jakarta.

No comments: