Thursday, October 24, 2013

Surat Balasan untuk Bapak

"...gadis kecil yang baru saja bangun. Dia berlari-lari, di halaman rumahnya, menyusuri pepohon dan taman..."

Pertama kali denger Galih nyanyi lagu itu, aku langsung suka. Suka sekali. Terbayang bapak-bapak yang repot jagain anak perempuannya lari-lari dengan gaun yang mekar warna putih. Khawatir anak perempuannya jatuh, terus gaunnya jadi kotor.

Bapak adalah dimana laki-laki akan menjadi. Seperti halnya perempuan membicarakan kalau nanti dia akan menjadi seorang Ibu. Kesetaraan kan? Bukan keadilan. Maka, sekarang, akan aku cerita tentang bapak, seperti aku mengagungkan perempuan.


Bapak, entah bapaknya siapa, idealismenya terpecahkan oleh hal yang lembut, yang sangat gengsi untuk diakuinya. Cint.. ehm (Okey, ada orang yang selalu berdehem ketika menyebutkan kata-kata ini dan dia adalah laki-laki), memang tidak perlu disebutkan, kata itu. Energi yang kuat membulatkan tekad bapak untuk mau berkomitmen dengan hari-hari dimana ia harus mengikuti perintah untuk bangun pagi dan tersesat dalam emosi, sampai ia lelah untuk tersenyum, padahal dia ingin, ingin sekali.

Ada bapak yang tak segan melayangkan tangan pada mereka yang menjadi energi untuknya. Bapak itu sedang keterlaluan. Ia, nantinya akan menyesal, bukan karena bapak dihukum, tapi, karena ia lupa cari memberi kasih dengan tangan dari Tuhan. Ketika ia menyesal, ia berharap, melihat matanya, kerutannya yang lelah.., ia dimaafkan.

Bapak yang ini adalah bapak yang menginginkan putrinya ada, bahkan sebelum diciptakannya. Bapak kemudian memberi selimut untuk putrinya yang ketakutan karena di luar hujan deras. Ia, kembali berada di balik mesin tik. Menyelesaikan sebuah tugas yang putrinya tidak pernah ingin tau, mungkin juga tidak mengerti, atau tidak berani karena petir terus-terusan menyambar. 

Aku belum sempat diajar bapak naik sepeda roda dua. Bapak belum sempat membelikanku gaun yang roknya mekar seperti mawar warna hitam. Tapi bapak sempat meninggalkan ukulele yang akhirnya patah, nggak sengaja keinjek Kakakku waktu masih SD. Bapak meninggalkan rumah yang ruang tamunya jadi kamarku sekarang. Bapak pernah meninggalkan sepucuk surat yang ditempel di lemari pakaian. Aku masih ingat isi surat itu: jadwal kegiatan untuk anak-anaknya dari pagi sampai malam. Sholat, sarapan, main, mandi, menunggu Ibu dan bapak pulang kantor sambil belajar. Bapak tau anaknya yang satu ini tidak ahli dalam manajemen waktu. Aku buat gaun hitam itu, beberapa waktu lalu, dan tersenyum.

Bocah kecil sudah dewasa, mencoba mengingat, yang waktu itu bapaknya ketik, di waktu yang sama ketika bocah itu sibuk dengan selimutnya sementara di luar hujan dan petir. Sekarang ia sudah dewasa, suratnya sudah disimpan baik-baik di hati. Setiap ada kesempatan, aku tepati...

Nb: Surat ini Bapakku, buat Bapak Su, juga semua bapak-bapak di dunia dan di surga.

Tiaradewi :)
Ditulis lagi 25 Oktober 2013 Setelah lama menjadi catatan tersembunyi.
"Selamat ulang tahun, Bapak. Anak gadismu, akhirnya sarjana."

No comments: