“Ini
lehernya kelebaran, Mba.”
“Oh ini, nanti mah bisa dikecilin.”
Pegawai butik ini mengambil beberapa jarum, menjepit beberapa di giginya,
sementara tangannya mengkaitkan jarum yang lain ke bagian leher gaun untuk
penanda ukuran lingkar leher yang akan diperkecil. Gaun yang sedang berkaca di
dalam sekotak ruang ganti itu dipakai Ibu muda, cantik tanpa riasan make up
kecuali alisnya yang dibubuhi sedikit pensil alis. Gaun yang dia kenakan
berwarna merah muda agak keunguan, bagian atasnya berbalut kain brokat, dan
bagian bawahnya berbahan shifon berwarna senada menjulur panjang. Bagian brokat
dengan bagian bawahnya dibatasi oleh kain metalik yang melingkari pinggang
bagian atas, menampakan perutnya yang membuncit karena usia kehamilannya yang
memasuki bulan ke-5.
“Eh,mba,
kayaknya punya aku ini mau dikasih payet deh. Biar nggak polos-polos banget.”
“Boleh, bisa kok nanti sekalian dikecilin yak,
Senin wes jadi.”
“Maaaas,
sini deh! Ini lengan sama lehernya aku tambah payet-payet ya? Kosong nih gini
doang..”
Si
mas manggut-manggut.
“Nambah
berapa biayanya emang kalo dipayet-payet?”
“Ihh, yang itu bagus deh.. Kalo mau bikin yang
kayak gini berapa Mba?” Ibu muda yang sedang hamil itu menyentuh halus gaun
yang ada di atas meja pelanggan.
“Bagus yak? Mbake, itu sekitar satu setengah
juta.” Pegawai butik menjelaskan dengan suara yang sedikit berbisik. Lalu
melihat kearah gaun, yang disebut bagus tadi. Gaun itu sedang dilipat oleh
rekannya, untuk dibawa pulang sang pembeli. Setelah dilipat dan hendak
dimasukkan ke dalam plastik, “Eh iku ojo
di plastiki ngono, ini baju penganten.”
“O..”
jawab temannya polos, mengganti plastik bungkusannya dengan kotak cantik
berwarna merah bercorak emas.
Kedua
pasangan, pemilik gaun manten, tersenyum.
“Ah,
nanti kalo aku udah ngelahirin bikin ah yang kayak gitu. Mas liat deh, bagus
ya, Mas.” Sang istri menunjuk gaun yang sedang dipindahkan ke box merah, suaminya
hanya diam.
….
“Permisi..”
Gadis muda berusia sekitar 16 tahun, melewati ibu muda yang sedang hamil,
berganti masuk ke dalam fitting room. Tirai ditutup beberapa saat kemudian
dibuka kembali, dia sudah berganti dengan gaun cantik berwarna putih hitam.
Ibu
dan neneknya yang menunggu di luar kemudian melihat gadisnya secara seksama,
menimbang-nimbang bagian mana yang kurang dari gaun yang dikenakan anak gadis
itu. Kemudian membicarakannya dengan pegawai yang melayaninya.
“Dikit
aja yak dikecilinnya, gak bagus ini kalau terlalu naik. Bisa ditunggu ini mah,
Buk.” Pegawai memberikan tanggapan, juga dengan logat Tegalnya yang kental.
“Yuk,
Mah, cari makan dulu..”
“Yuk,
nenek mau ikut juga atau nunggu disini aja?”
Sang
nenek melambaikan tangan tanda tidak ingin ikut. Ia duduk disebelah dua orang
perempuan setengah baya. Mereka sama-sama pelanggan butik itu.
Setengah
jam berlalu, tiga perempuan beruban itu semakin akrab, membicarakan kelahiran,
membicarakan pendidikan, membicarakan pekerjaan, membicarakan pernikahan,
membicarakan – anak cucu mereka.
“Anaknya nakal sekali, nanti besar jika tak
sukses bagaimana? Saya bilang saja, mungkin bapak kau lupa patok pusarmu dengan
bambu.”
….
Aku
ingin tau apa yang ada dikepala suami ibu hamil tersebut, ketika istrinya
meminta dibuatkan baju yang serupa dengan baju manten. Aku ingin tau apa anak gadis itu benar-benar menyukai gaun
yang ia kenakan. Aku ingin tau apa ketika wanita paruh baya itu saling
menyetujui makna kebahagiaan yang saling mereka bicarakan bagi anak cucunya.
Ini
bukan masalah menyetujui dengan hati, ini bukan masalah dalam arti
sesungguhnya, ini tentang manusia dengan segala perbenturan dan cara
menjalaninya, aturan berbusana.
Bekasi, 17 November 2013
Bekasi, 17 November 2013
No comments:
Post a Comment