Saturday, November 16, 2013

Rupa Rumpi dalam Butik Kebaya

“Ini lehernya kelebaran, Mba.”

Oh ini, nanti mah bisa dikecilin.” Pegawai butik ini mengambil beberapa jarum, menjepit beberapa di giginya, sementara tangannya mengkaitkan jarum yang lain ke bagian leher gaun untuk penanda ukuran lingkar leher yang akan diperkecil. Gaun yang sedang berkaca di dalam sekotak ruang ganti itu dipakai Ibu muda, cantik tanpa riasan make up kecuali alisnya yang dibubuhi sedikit pensil alis. Gaun yang dia kenakan berwarna merah muda agak keunguan, bagian atasnya berbalut kain brokat, dan bagian bawahnya berbahan shifon berwarna senada menjulur panjang. Bagian brokat dengan bagian bawahnya dibatasi oleh kain metalik yang melingkari pinggang bagian atas, menampakan perutnya yang membuncit karena usia kehamilannya yang memasuki bulan ke-5.

“Eh,mba, kayaknya punya aku ini mau dikasih payet deh. Biar nggak polos-polos banget.”

Boleh, bisa kok nanti sekalian dikecilin yak, Senin wes jadi.”

“Maaaas, sini deh! Ini lengan sama lehernya aku tambah payet-payet ya? Kosong nih gini doang..”

Si mas manggut-manggut.

“Nambah berapa biayanya emang kalo dipayet-payet?”

….


“Ihh, yang itu bagus deh.. Kalo mau bikin yang kayak gini berapa Mba?” Ibu muda yang sedang hamil itu menyentuh halus gaun yang ada di atas meja pelanggan.

Bagus yak? Mbake, itu sekitar satu setengah juta.” Pegawai butik menjelaskan dengan suara yang sedikit berbisik. Lalu melihat kearah gaun, yang disebut bagus tadi. Gaun itu sedang dilipat oleh rekannya, untuk dibawa pulang sang pembeli. Setelah dilipat dan hendak dimasukkan ke dalam plastik, “Eh iku ojo di plastiki ngono, ini baju penganten.

“O..” jawab temannya polos, mengganti plastik bungkusannya dengan kotak cantik berwarna merah bercorak emas.

Kedua pasangan, pemilik gaun manten, tersenyum.

“Ah, nanti kalo aku udah ngelahirin bikin ah yang kayak gitu. Mas liat deh, bagus ya, Mas.” Sang istri menunjuk gaun yang sedang dipindahkan ke box merah, suaminya hanya diam.

….

“Permisi..” Gadis muda berusia sekitar 16 tahun, melewati ibu muda yang sedang hamil, berganti masuk ke dalam fitting room. Tirai ditutup beberapa saat kemudian dibuka kembali, dia sudah berganti dengan gaun cantik berwarna putih hitam.

Ibu dan neneknya yang menunggu di luar kemudian melihat gadisnya secara seksama, menimbang-nimbang bagian mana yang kurang dari gaun yang dikenakan anak gadis itu. Kemudian membicarakannya dengan pegawai yang melayaninya.

“Dikit aja yak dikecilinnya, gak bagus ini kalau terlalu naik. Bisa ditunggu ini mah, Buk.” Pegawai memberikan tanggapan, juga dengan logat Tegalnya yang kental.

“Yuk, Mah, cari makan dulu..”

“Yuk, nenek mau ikut juga atau nunggu disini aja?”

Sang nenek melambaikan tangan tanda tidak ingin ikut. Ia duduk disebelah dua orang perempuan setengah baya. Mereka sama-sama pelanggan butik itu.

Setengah jam berlalu, tiga perempuan beruban itu semakin akrab, membicarakan kelahiran, membicarakan pendidikan, membicarakan pekerjaan, membicarakan pernikahan, membicarakan – anak cucu mereka.

Anaknya nakal sekali, nanti besar jika tak sukses bagaimana? Saya bilang saja, mungkin bapak kau lupa patok pusarmu dengan bambu.”

….

Aku ingin tau apa yang ada dikepala suami ibu hamil tersebut, ketika istrinya meminta dibuatkan baju yang serupa dengan baju manten. Aku ingin tau apa anak gadis itu benar-benar menyukai gaun yang ia kenakan. Aku ingin tau apa ketika wanita paruh baya itu saling menyetujui makna kebahagiaan yang saling mereka bicarakan bagi anak cucunya.

Ini bukan masalah menyetujui dengan hati, ini bukan masalah dalam arti sesungguhnya, ini tentang manusia dengan segala perbenturan dan cara menjalaninya, aturan berbusana.

Bekasi, 17 November 2013

No comments: