Ketika tulisan ini
hendak dibuat, Selasa, 21 Maret 2017 hilir mudik berita duka di berbagai media
daring tentang meninggalnya salah seorang dari perwakilan petani Kendeng, Ibu
Patmi. Ia meninggal setelah kurang lebih sepekan (15-21 Maret 2017), bersama
sekitar 50-an orang lainnya, melakukan aksi pengecoran kaki dengan semen sebagai
penolakan terhadap PT Semen Indonesia di kawasan karst Pegunungan Kendeng.
Aksi pengecoran
kaki dengan semen oleh para petani dan aktivis Kendeng, hanyalah satu dari sekian
banyak gerakan di Indonesia untuk melawan dan mempertahankan wilayahnya dari
“pemagaran” yang dilakukan oleh perusahaan maupun proyek atas nama pembangunan
negara. Kita dapat temukan lagi gerakan serupa seperti, misalnya, warga Taliabu
di Maluku Utara yang melawan perusahaan tambang, atau juga gerakan Forum Rakyat
Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) dan lain sebagainya.
“Pemagaran”, sebagai
upaya untuk membatasi kepemilikan atas tanah-tanah, muncul di dalam Capital
Volume I yang ditulis Marx melalui konsep “enclosure”.
Namun, bagi ahli ilmu politik Ellen Meksins Wood, dalam bukunya The Origin of Capitalism, pengertian enclosure tidak boleh dipandang hanya
sebagai pemagaran fisik. Namun, jauh lebih mendasar, enclosure adalah penjungkir-balikkan, penghancuran dan penghilangan
hak-hak milik bersama dan hak menggunakan tanah atau sumber daya alam di mana
penduduk menggantungkan hidupnya.[1] Di dalam
gagasan primitive accumulation yang
dituliskan Marx, akan kita temukan, di atas tumbangnya hak-hak itulah kapitalisme
tumbuh. Akan tetapi, jika enclosure
diletakkan di dalam kerangka genealogis linier yang menandai lahirnya
kapitalisme, maka pertanyaannya adalah apa yang sedang dilakukan para Petani
Kendeng atau warga Taliabu atau ForBALI dan berbagai gerakan perlawanan pada
hari ini? Bukankah sejarah mengatakan kapitalisme telah lahir menggantikan
segala feodalisme pada masa lampau? Apa ada perlawanan yang bisa ‘mengganggu’
kapitalisme selain dengan menggantinya dengan ‘isme’ yang lain? Revolusi?
Kerangka genealogis
linier Marx kemudian menghasilkan suatu sikap pesimistik, bahwa kekuasaan tidak
dapat dilawan dari bawah, karena perubahan hanya bisa dilakukan dengan
mengganti kapitalisme dengan ‘isme’ yang lain, dan ‘isme’ yang lain itu hanya
bisa diperoleh dengan kekuasaan ‘di atas’, bukan ‘di bawah’. Sudut pandang Marx
terhadap enclosure ini yang kemudian
dikritisi dan diintepretasikan kembali oleh Massimo De Angelis (2004).
Membaca Lagi Enclosure
Akumulasi primitif
yang didefinisikan oleh Marx menurut De Angelis mengenai “pemisahan” sebenarnya
adalah suatu bentuk peningkatan kekuatan kapitalisme ke kekuatan yang lebih
tinggi. Pemisahan di dalam teori Marx berarti suatu kondisi objektif dari kerja
manusia yang kemudian dipisahkan dari sarana produksinya, yang membuat mereka
muncul hanya sebagai nilai lain. Aktivitas manusia kemudian disalurkan ke dalam bentuk yang kompatibel dengan tujuan akumulasi
kapital. Marx
menuliskan bahwa dengan akumulasi, kapital mereproduksi pemisahan dan kekayaan
material, misalnya tenaga kerja dalam skala yang semakin meningkat. Dan,
akumulasi kapital muncul sebagai proses berkelanjutan, yaitu di mana akumulasi
primitif muncul sebagai proses historis yang berbeda-beda, seperti yang
dituliskan Marx di dalam Grundisse (1939): sekali pemisahan dilakukan, produksi
hanya bisa memproduksi kembali, mereproduksi, dan reproduksi lagi dengan skala
yang diperluas.[2]
Pembedaan akumulasi kapital dan akumulasi primitif, dengan demikian berada pada
kondisi eksistensinya: akumulasi primitif menyiratkan awal pemisahan, dan
akumulasi kapital adalah reproduksi pemisahan dalam skala yang lebih besar.
Sehingga pembedanya, bagi Marx, didasarkan pada situasi dan konteks.
Kita dapat berkaca pada uneveness (Anievas &
Nisancioglu, 2014)
untuk dapat memahami perbedaan perkembangan masyarakat, relasi kekuasaan
asimetris, baik secara ekonomi, geopolitik dan ideologi, sebagai gambaran yang
mendukung interpretasi De Angelis mengenai analisis akumulasi primitif Marx.
Bahwa selain pemisahan, akumulasi primitif menyiratkan suatu medan strategis
kontestasi kekuatan-kekuatan sosial. Dalam hal ini, De Angelis menyarankan kita
untuk tidak lagi, bersetuju dengan Hardin mengenai tragedy of the common. Karena dengan asumsi bahwa sumber daya umum
adalah ruang bebas-untuk-semua di mana “manusia ekonomi” saling bersaing
mengambil sebanyak mungkin sumber daya yang mereka bisa, maka Hardin telah
merekayasa pembenaran bahwa privatisasi sumberdaya umum adalah kebutuhan
alamiah. Dalam hal ini, Hardin melupakan bahwa tidak ada sumberdaya tanpa
masyarakat di dalamnya, sehingga akses untuk mengambil sumberdaya berarti pula
negosiasi. Itu berarti tidak ada enclosure
tanpa destruksi. (De
Angelis, 2004, p. 58)
Dengan demikian, akumulasi primitif dipahami bukan hanya sebagai kondisi sejarah prakapitalis, namun juga
keberlanjutan kontestasi penetapan kapitalis pada level yang diperluas. Normalisasi kapital tidak
berjalan hanya dengan “silent compulsion”
sehingga selama kapital diperluas, kontestasi berlangsung dan perlawanan
muncul. Dengan begitu target enclosure
tidak lagi hanya tanah-tanah kosong, atau manusia untuk diperbudak, tapi
menargetkan – para warga Kendeng, warga Taliabu, dan juga masyarakat Bali dan
lain sebagainya – yang
dianggap kapital sebagai “kebekuan”, yaitu perlawanan terhadap proses
lanjut dari akumulasi kapital. Menarik ketika di dalam artikelnya, De Angelis
membahas mengenai urban enclosure.
Yaitu, enclosure yang
diidentifikasikan sebagai reproduksi batasan ruang yang kondisi normalnya
berusaha dilampaui oleh orang-orang yang tidak diharapkan oleh kapital:
gelandangan.
Identifikasi enclosure
adalah salah satu cara yang ditawarkan De Angelis untuk melakukan analisis. Identifikasi
kemudian membuat kita dapat memahami tipe enclosure dengan
berbagai nama yang dibuat oleh kapitalis untuk melakukan normalisasi kapitalnya
terhadap suatu lingkup negara, misalnya, kebijakan, hak milik, urban design,
termasuk polusi yang dihasilkan oleh industri. Dan yang terkhir adalah dengan melakukan
analisa terhadap mode-mode
enclosure.
Baik yang sudah lama
terjadi, maupun melalui wajah barunya, enclosure
selalu diiringi dengan perjuangan dari orang-orang yang mengorganisir diri
untuk membentuk pertahanan. Keduanya kekuatan – kapital dan perlawanan – tersebut,
diletakkan oleh De Angelis pada konsep “double
movement” Karl Polanyi. Pada satu sisi, ada sejarah pasar besar yang tidak
memiliki batasan sehingga dapat menghancurkan masyarakat, dan di sisi lain ada
kecenderungan masyarakat untuk mempertahankan diri. Ini yang kemudian
membedakan perlawanan ‘isme’ yang dilakukan Marx berbeda dengan apa yang
dilakukan agen-agen double movement dari akar rumput.
De Angelis melalui artikelnya
membawa optimisme bagi para gerakan akar rumput, bahwa kemudian yang mereka lakukan
bukanlah tindakan yang tidak ada artinya jika (harus) dibandingkan dengan
revolusi yang digagas oleh Marx. Namun, ini pula yang menjadi celah dalam
artikel De Angelis, jika memang benar tujuannya adalah optimisme itu. Ia tidak
lebih jauh melakukan analisa terhadap dampak dari apa yang dilakukan gerakan
perlawanan akar rumput, seperti dia, dan ahli lain, telah menyelami dampak
dari enclosure, dulu dan kini.
Anievas, A., & Nisancioglu, K. (2014). How
the West Come to Rule. Pluto Press.
De Angelis, M. (2004). Separating the Doing
and the Deed: Capital and the Continuous Character of Enclosures. Historical
Materialism, volume 12:2 (57–87).
Hardin, G. (1968). The Tragedy of the
Commons. Science, New Series, Vol. 162, No. 3859 , 1243-1248.
Marx, K. ([1867] 1979). Capital Volume I.
Middlesex: Penguin Books.
No comments:
Post a Comment