Wednesday, June 7, 2017

De Angelis tentang Program Perampasan Berkelanjutan

Ketika tulisan ini hendak dibuat, Selasa, 21 Maret 2017 hilir mudik berita duka di berbagai media daring tentang meninggalnya salah seorang dari perwakilan petani Kendeng, Ibu Patmi. Ia meninggal setelah kurang lebih sepekan (15-21 Maret 2017), bersama sekitar 50-an orang lainnya, melakukan aksi pengecoran kaki dengan semen sebagai penolakan terhadap PT Semen Indonesia di kawasan karst Pegunungan Kendeng.

                Aksi pengecoran kaki dengan semen oleh para petani dan aktivis Kendeng, hanyalah satu dari sekian banyak gerakan di Indonesia untuk melawan dan mempertahankan wilayahnya dari “pemagaran” yang dilakukan oleh perusahaan maupun proyek atas nama pembangunan negara. Kita dapat temukan lagi gerakan serupa seperti, misalnya, warga Taliabu di Maluku Utara yang melawan perusahaan tambang, atau juga gerakan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) dan lain sebagainya. 

“Pemagaran”, sebagai upaya untuk membatasi kepemilikan atas tanah-tanah, muncul di dalam Capital Volume I yang ditulis Marx melalui konsep “enclosure”. Namun, bagi ahli ilmu politik Ellen Meksins Wood, dalam bukunya The Origin of Capitalism, pengertian enclosure tidak boleh dipandang hanya sebagai pemagaran fisik. Namun, jauh lebih mendasar, enclosure adalah penjungkir-balikkan, penghancuran dan penghilangan hak-hak milik bersama dan hak menggunakan tanah atau sumber daya alam di mana penduduk menggantungkan hidupnya.[1] Di dalam gagasan primitive accumulation yang dituliskan Marx, akan kita temukan, di atas tumbangnya hak-hak itulah kapitalisme tumbuh. Akan tetapi, jika enclosure diletakkan di dalam kerangka genealogis linier yang menandai lahirnya kapitalisme, maka pertanyaannya adalah apa yang sedang dilakukan para Petani Kendeng atau warga Taliabu atau ForBALI dan berbagai gerakan perlawanan pada hari ini? Bukankah sejarah mengatakan kapitalisme telah lahir menggantikan segala feodalisme pada masa lampau? Apa ada perlawanan yang bisa ‘mengganggu’ kapitalisme selain dengan menggantinya dengan ‘isme’ yang lain? Revolusi?

Kerangka genealogis linier Marx kemudian menghasilkan suatu sikap pesimistik, bahwa kekuasaan tidak dapat dilawan dari bawah, karena perubahan hanya bisa dilakukan dengan mengganti kapitalisme dengan ‘isme’ yang lain, dan ‘isme’ yang lain itu hanya bisa diperoleh dengan kekuasaan ‘di atas’, bukan ‘di bawah’. Sudut pandang Marx terhadap enclosure ini yang kemudian dikritisi dan diintepretasikan kembali oleh Massimo De Angelis (2004).


Membaca Lagi Enclosure

Akumulasi primitif yang didefinisikan oleh Marx menurut De Angelis mengenai “pemisahan” sebenarnya adalah suatu bentuk peningkatan kekuatan kapitalisme ke kekuatan yang lebih tinggi. Pemisahan di dalam teori Marx berarti suatu kondisi objektif dari kerja manusia yang kemudian dipisahkan dari sarana produksinya, yang membuat mereka muncul hanya sebagai nilai lain. Aktivitas manusia kemudian disalurkan ke dalam bentuk yang kompatibel dengan tujuan akumulasi kapital. Marx menuliskan bahwa dengan akumulasi, kapital mereproduksi pemisahan dan kekayaan material, misalnya tenaga kerja dalam skala yang semakin meningkat. Dan, akumulasi kapital muncul sebagai proses berkelanjutan, yaitu di mana akumulasi primitif muncul sebagai proses historis yang berbeda-beda, seperti yang dituliskan Marx di dalam Grundisse (1939): sekali pemisahan dilakukan, produksi hanya bisa memproduksi kembali, mereproduksi, dan reproduksi lagi dengan skala yang diperluas.[2] Pembedaan akumulasi kapital dan akumulasi primitif, dengan demikian berada pada kondisi eksistensinya: akumulasi primitif menyiratkan awal pemisahan, dan akumulasi kapital adalah reproduksi pemisahan dalam skala yang lebih besar. Sehingga pembedanya, bagi Marx, didasarkan pada situasi dan konteks.

Kita dapat berkaca pada uneveness (Anievas & Nisancioglu, 2014) untuk dapat memahami perbedaan perkembangan masyarakat, relasi kekuasaan asimetris, baik secara ekonomi, geopolitik dan ideologi, sebagai gambaran yang mendukung interpretasi De Angelis mengenai analisis akumulasi primitif Marx. Bahwa selain pemisahan, akumulasi primitif menyiratkan suatu medan strategis kontestasi kekuatan-kekuatan sosial. Dalam hal ini, De Angelis menyarankan kita untuk tidak lagi, bersetuju dengan Hardin mengenai tragedy of the common. Karena dengan asumsi bahwa sumber daya umum adalah ruang bebas-untuk-semua di mana “manusia ekonomi” saling bersaing mengambil sebanyak mungkin sumber daya yang mereka bisa, maka Hardin telah merekayasa pembenaran bahwa privatisasi sumberdaya umum adalah kebutuhan alamiah. Dalam hal ini, Hardin melupakan bahwa tidak ada sumberdaya tanpa masyarakat di dalamnya, sehingga akses untuk mengambil sumberdaya berarti pula negosiasi. Itu berarti tidak ada enclosure tanpa destruksi. (De Angelis, 2004, p. 58)

Dengan demikian, akumulasi primitif dipahami bukan hanya sebagai kondisi sejarah prakapitalis, namun juga keberlanjutan kontestasi penetapan kapitalis pada level yang diperluas. Normalisasi kapital tidak berjalan hanya dengan “silent compulsion” sehingga selama kapital diperluas, kontestasi berlangsung dan perlawanan muncul. Dengan begitu target enclosure tidak lagi hanya tanah-tanah kosong, atau manusia untuk diperbudak, tapi menargetkan – para warga Kendeng, warga Taliabu, dan juga masyarakat Bali dan lain sebagainya – yang dianggap kapital sebagai “kebekuan”, yaitu perlawanan terhadap proses lanjut dari akumulasi kapital. Menarik ketika di dalam artikelnya, De Angelis membahas mengenai urban enclosure. Yaitu, enclosure yang diidentifikasikan sebagai reproduksi batasan ruang yang kondisi normalnya berusaha dilampaui oleh orang-orang yang tidak diharapkan oleh kapital: gelandangan.

Identifikasi enclosure adalah salah satu cara yang ditawarkan De Angelis untuk melakukan analisis. Identifikasi kemudian membuat kita dapat memahami tipe enclosure dengan berbagai nama yang dibuat oleh kapitalis untuk melakukan normalisasi kapitalnya terhadap suatu lingkup negara, misalnya, kebijakan, hak milik, urban design, termasuk polusi yang dihasilkan oleh industri. Dan yang terkhir adalah dengan melakukan analisa terhadap mode-mode enclosure.

Baik yang sudah lama terjadi, maupun melalui wajah barunya, enclosure selalu diiringi dengan perjuangan dari orang-orang yang mengorganisir diri untuk membentuk pertahanan. Keduanya kekuatan – kapital dan perlawanan – tersebut, diletakkan oleh De Angelis pada konsep “double movement” Karl Polanyi. Pada satu sisi, ada sejarah pasar besar yang tidak memiliki batasan sehingga dapat menghancurkan masyarakat, dan di sisi lain ada kecenderungan masyarakat untuk mempertahankan diri. Ini yang kemudian membedakan perlawanan ‘isme’ yang dilakukan Marx berbeda dengan apa yang dilakukan agen-agen double movement dari akar rumput.

De Angelis melalui artikelnya membawa optimisme bagi para gerakan akar rumput, bahwa kemudian yang mereka lakukan bukanlah tindakan yang tidak ada artinya jika (harus) dibandingkan dengan revolusi yang digagas oleh Marx. Namun, ini pula yang menjadi celah dalam artikel De Angelis, jika memang benar tujuannya adalah optimisme itu. Ia tidak lebih jauh melakukan analisa terhadap dampak dari apa yang dilakukan gerakan perlawanan akar rumput, seperti dia, dan ahli lain, telah menyelami dampak dari enclosure, dulu dan kini.


Anievas, A., & Nisancioglu, K. (2014). How the West Come to Rule. Pluto Press.
De Angelis, M. (2004). Separating the Doing and the Deed: Capital and the Continuous Character of Enclosures. Historical Materialism, volume 12:2 (57–87).
Hardin, G. (1968). The Tragedy of the Commons. Science, New Series, Vol. 162, No. 3859 , 1243-1248.
Marx, K. ([1867] 1979). Capital Volume I. Middlesex: Penguin Books.





[1] Dalam Sangaji, Anto. 2010. https://indoprogress.com dikutip tanggal 21 Maret 2017
[2] Marx 1974, p. 462. Penekanan pada De Angelis

Tiaradewi :)

No comments: