Menjelang akhir
tahun, Agustus, 2011. Hampir tiap Jumat yang hujan, naik motor pinjaman, saya
bersama Bacil melaju lintas kecamatan: Jatinangor-Gegerkalong. Beruntung, tempat
tujuan kami menyediakan layanan cuci helm. Sepatu, kaos kaki, dan tidak lupa, helm
motor bisa wangi bebas lembab. Atau, kalau segan, kami senderkan saja benda-benda
itu di blower ac yang bunyinya agak
kuno, terus duduk nyeker di sofa kulit hitam garasi yang jadi ruang tengah. Sambil
menunggu, entah menunggu apa.
“Should I give up? Or should I just keep
chasin’ pavements. Even if it leads nowhere?”
Lagu itu rutin
di-stel keras-keras lewat komputer
yang ada di ruang tengah. Kadang nada-nada Caspian juga berebut untuk dapat
giliran memenuhi ruangan, ditambah wangi nasi padang bungkusan jam makan siang.
Kadang ada juga tamu atau teman lama, atau siapa saja datang menyapa, benar-benar
siapa saja. Tapi, yang tidak pernah tidak hadir di sana: tawa. Bahkan, kalau
ada emosi yang sedang keras dan nyaring, selalu ada yang tertawa di celah-celah
giginya.
Kurang lebih
tiga bulan, rutinitas akhir pekan itu tumbuh subur di memori saya, membawa saya
kembali dua tahun setelahnya untuk merekam setiap hari, semua tawa yang membuncah
ketika saya di sana. Sayangnya saya tidak ahli bikin cerita fiksi. Alih-alih
masuk Gramedia, rekaman itu dibungkus sampul kuning dengan simbol Padjadjaran
dengan jumawa.
Sekarang, 2017, sudah lebih dari lima tahun. Kalau dibuka lagi mungkin rekaman itu bikin sakit mata,
tulisan kocar-kacir, namun, prosesnya melekat. Dan, saya bisa tertawa kalau ingat-ingat.
Tahun di mana saya mulai tidak lagi banyak menangis, tidak lagi membayangkan
alam baka dengan mata terbuka, tidak lagi terpenjara dalam diri sendiri, kalaupun
iya itu masih terjadi, setidaknya saya punya berbagai cara mengatasinya.
Bukan karena
masalah-masalah kehidupan sirna, nona.
“Something about laugh is that, it is very
healing.”
Free to Laugh sebuah film
dokumeter yang bikin saya berlinang-linang, mengingatkan saya tentang apa yang
pernah saya rekam tentang Rumah Cemara dan kepercayaan saya soal tertawa. Definisi-definisi
dalam syarat akademik itu sudah runtuh dalam benak saya. Kita semua hanya
rangkaian cerita-cerita yang rentan, mudah basah, mudah putus, mudah berjamur,
mudah sakit, sama saja: pecandu, narapidana, odha, disabilitas, mentally disorder, dan lain-lain. Bagi saya, tertawa tidak harus ada pada oposisi biner
dengan kesialan, kesedihan atau kemarahan. Bahkan di titik terendah manusia, tertawa
harus ada di sana.
“Your story is not define you, it is just
part of your story ... there are so many
chapters left to be written.”
Tiaradewi :)
Freiburg, 17 Desember 2017
*terimakasih Rumah Cemara dan siapapun di dalamnya.