Tuesday, January 15, 2013

Nyi Roro Kidul, Horor dan Pembelajaran

Semalem, sayup-sayup kedengeran suara dari televisi. Pembahasannya begitu mistis, sarat dengan penculikan ajaib, bencana, dan bla bla bla… Ternyata saya ketiduran ketika tv belum dimatikan. Sambil mencari remote tv, mata yang udah sepet banget ini ngeliat makhluk-makhluk berwarna hijau muncul di acara tv itu. Ternyata itu talkshow, Bukan Empat Mata Si Tukul. Yang saya ingat, komposisi orang-orang yang duduk di deretan talk show itu terdiri dari Pepy, Bapak Gelap, Ibu (kebaya) Ijo, Wanita Cantik berbaju ijo (yang katanya artis), dan Tukul.

Denger dari sayup sayup pembahasannya sih mistis, ditambah lagi suara backsoundnya. Seperti biasa, dengan bahasannya saat itu: Ratu Pantai Selatan, Indonesia selalu jadi mistis dan horor. Ibu Ijo bercerita …....... Hm, mungkin ketika dia cerita saya masih tertidur. Yang saya simak adalah ketika dia lagi di pantai di luar negeri ada gelombang yang sangat besar sampai menghanyutkan banyak orang di sana, tapi dia tidak basah sedikitpun. Gelombang laut yang datang seolah menghindari sekeliling badannya, atau bahasa lainnya si Ibu Ijo itu ‘dilindungi’. Sementara Bapak Gelap, yang pakaiannya emang item-item, menceritakan pengalamannya melukis rupa Ratu Pantai Selatan, dan lukisannya malam itu menjadi pajangan di studio talkshow.

Perempuan dan Horor

Saya nggak tau apa bedanya mistis sama horror, yang jelas mistis kalo di film-film Indonesia ya horror aja jadinya. Padahal sesuatu yang mistis bisa dibawa ke hal-hal yang lebih spiritual. Dan polanya, perempuan selalu hadir menjadi bagian dalam kemistisan itu, ketika mistis mulai masuk ke ranah horror perempuan tetap jadi icon, sampai sekarang. Dulu, masih ingat tentunya Suzanna yang memerankan Ratu Laut Kidul, dan juga Nyi Blorong, lalu Diah Permatasari di film Si Manis Jembatan Ancol, dan sebagainya dan sebagainya… Mungkin ada beberapa makhluk gaib (perempuan) yang lebih bersahabat seperti Jinny (Diana Pungky) dalam sinetron Jinny oh Jinny. Jin sebagai ‘hero’. Tetap saja Jinny butuh Bagus (Indra Brugman) untuk tetap bisa hidup damai di dunia ini. Nasibmu perempuan… Ulasan tentang perempuan dalam kisah mistis atau horror sebenarnya sudah pernah dibahas oleh Hendri Yulius di Majalah Bhinneka edisi #014 pada tulisannya yang berjudul Perempuan dalam Kuburan.

Hari ini, sejak beberapa tahun belakangan, sedikit film horor yang tidak menjadikan perempuan sebagai bahan eksploitasi seksual. Saya juga nggak ngerti, kenapa mesti film horor? Apa karena film horor di luar negeri perempuan terlihat sexy dan keren gitu? Terus gua harus bilang wow, gitu?

Film horor tipe 'perawan keramas'

Dengan imej sekarang yang sudah ter-imej-kan bahwa film horor Indonesia itu isinya: cewek dan tetek dan paha dan desahan, saya jadi sangat kecewa. Padahal dulu sejak SMA saya hobby nonton film horor Indonesia. Tapi tentu saja yang lebih modern dari Suzanna. Perempuan-perempuan dalam film horor, antara setelah era Suzanna dan horor sex lama – sampai – sebelum era ‘perawan keramas’, menghadirkan banyak perempuan sebagai sosok yang pemberani, dan tidak mau kalah sama teman-temannya yang laki-laki. Sebut saja Marcella Zalianti dan Dina Olivia dalam Tusuk Jelangkung. Lalu ada Nagita, Jennifer, dan Intan Ayu dalam Di Sini Ada Setan. Dan film thriller Rumah Dara yang menampilkan Julie Estelle. Saya kecewa karena karena mungkin saja sekarang sudah banyak lagi film horor keren di Indonesia, tapi temen-temen selalu nggak mau diajak nonton. Ya, karena itu tadi, imej yang sudah ter-imej-kan “horor bokep” itu tadi.
Film Horor favorit saya, Dina Olivia keren banget di film ini.
Ratu Pantai Selatan (bukan) Kisah Horor

Kembali ke pembahasan karena saya tidak sengaja nonton acaranya Tukul semalam. Om Tukul itu kenapa acaranya jadi rada-rada horor semua ya? Seru gitu? Enggak Om. Kisah Ratu Pantai Selatan itu, sebut saja sebagai cerita rakyat, karena berada dalam lingkup kepercayaan masyarakat Sunda, Jawa, dana sebagian masyarakat Bali. Saya masih ingat ketika salah satu bintang tamu Bukan Empat Mata yaitu, si Wanita Cantik (yang katanya artis itu) berusaha menanggapi cerita mistis Ibu Ijo dan bapak Gelap dengan tanggapan bijaksana dan logis. Lalu kedua bingtang tamu lainnya (Bapak Gelap dan Ibu Ijo) mulai melunak, mengatakan bawa Ratu itu sangat baik, dan kita tidak perlu takut tapi harus menjaga lautan. Nah, itu poinnya!!

Pada jaman dulu, ketika belum masuk agama agama monotheisme ke nusantara seperti sekarang ini, orang-orang masih banyak yang menganut kepercayaan animism dan dinamisme, juga politeisme. Orang-orang pada masa itu tentunya masih berhubungan erat dengan alam. Belum banyak yang menggunakan ilmu pengetahuan pada saat itu. Gejala alam yang mereka rasakan berusaha mereka jawab dengan kepercayaan yang mereka yakini. Salah? Tidak sama sekali saya rasa.

Menarik bila menbaca Jostein Gaarder, saat dia menceritakan tentang Thor sebagai penjelasan mitologi masyarakat Skandinavia sebelum masuknya agama Kristen ke  Norwegia. Hujan dijelaskan oleh mitos, bahwa Thor sedang mengayunkan palunya. Palunya bukan hanya digunakan untuk membuat hujan, melainkan juga menjadi senjata untuk melawan pengacau. Di sinilah dapat dipelajari mengapa keseimbangan alam dipertahankan dan selalu terjadi pertempuran antara kebaikan dan kejahatan. Dalam Dunia Sophie, Gaarder juga menuliskan: Ketika kekeringan melanda, orang-orang mencari penjelasan mengapa tidak turun hujan. Mungkinkah karena para raksasa telah mencuri palu Thor?

Barangkali mitos, legenda dan cerita rakyat itu digunakan untuk memberikan penjelasan akan gelaja-gejala alam yang dirasakan masyarakatnya. Membuat nilai atau pandangan hidup tentang bagaimana manusia hidup selalu berdampingan dengan alam, norma bahwa hidup yang berdampingan itu selalu membutuhkan keseimbangan. Mungkin juga cerita Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Selatan dibuat horor, supaya orang-orang takut dengan beliau, tidak berani mendekat dan melecehkan beliau. Tapi Beliau itu bukan sekedar beliau, Ratu Pantai Selatan. Selalu ada yang dijaga dari seorang Ratu, yaitu pantai itu sendiri. Beliau menjaga pantai dari ketidakseimbangan yang selalu ditimbulkan manusia. Kalau kata Ibu Ijo sang Ratu sebenarnya adalah ibu yang sangat baik, lalu kenapa tidak diceritakan tentang kebaikannya.

Menceritakan kebaikan itu untuk pelajaran menjaga keseimbangan alam dan manusia, saya rasa harus diterapkan untuk anak-anak jaman sekarang. Bahwa alam memiliki Ibu. Anak-anak selalu dekat dengan sosok ibu kan? Saya jadi ingat film Ghibli yang di pinjamkan Puput buat saya. Judulnya Ponyo. Ponyo sendiri adalah anak dari Dewi Penguasa Laut. Dan di dalam film ini secara tersirat tergambarkan bagaimana kehidupan manusia selalu berkaitan dengan alamnya. Film Ghibli, (Ponyo, Totoro, dll) selalu menyuguhnya spiritualitas, mitos antara alam gaib dan dunia manusia diceritakan dalam kemasan kartun, mengajarkan dengan cara yang lucu, ceria dan unik kepada anak-anak tentang keseimbangan alam. Sehingga tidak perlu ada lagi eksploitasi terhadap perempuan dalam film horor, dan tidak perlu ada lagi menjaga alam karena ketakutan, tapi menyadarkan bahwa perempuan bisa berani dalam kegelapan, dan pesan dari alam tidak selalu horor atau mengerikan.

Ponyo on the Cliff by the Sea
Kata pepatah: Mengajar orang tua itu seperti menulis di atas pasir, mudah, tapi mudah hilang juga. Tapi kalau mengajar anak-anak itu seperti menulis di atas batu, susah, tapi akan terukir selamanya.
Grasindo, saya merindukan buku cerita rakyatmu yang dari berbagai wilayah Indonesia itu.

Tiaradewi.
Bekasi, 4 Januari 2013.

Buat Puput (Putri Sesilia @puputkadrie), makasih ya udah mau pinjemin Ponyo :)

2 comments:

ilma dityaningrum said...

Saya suka Ponyo!! ^^
Nice, Tiara.. lanjutken! Saya mantau aje.. ;)

Tiara Dewiyani said...

Saya suka Totoro Teh :)